Tuesday, April 8, 2008

BNI Rugikan Investor

Jawa Pos, Rabu - 09 Apr 2008

Felia: Saya Kira Tak Ada Masalah
JAKARTA - Penurunan laba bersih PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dalam laporan keuangan 2007 terus menjadi tanda tanya besar bagi pelaku pasar modal. Sebab, terpangkasnya laba bersih tersebut sangat merugikan investor, terutama pemegang saham publik.
"Kan pada kuartal ketiga kita tahu BNI masih untung. Tapi, kenapa masuk kuartal keempat langsung merugi?" ujar pengamat pasar modal Hendra Bujang kepada koran ini kemarin (8/4).

Hendra menyatakan, secara standar akuntansi, peningkatan rasio pencadangan (provisi) bisa dibenarkan. "Itu otoritas manajemen karena juga tidak ada kas yang keluar," tuturnya.
Namun, hal semacam itu tetap menjadi pertanyaan besar bagi pasar. "Kalau pembukuan sih oke dan wajar, tapi itu merugikan investor. Karena itu wajar bila manajemen harus dimintai klarifikasi oleh otoritas," katanya.
Manajemen BNI juga dinilai tidak menjunjung tinggi asas keterbukaan informasi kepada publik. "Kerugian bagi investor minoritas berlanjut. Dulu kan waktu SPO (secondary public offering) mereka beli saham BNI di atas Rp 2 ribu, sekarang melorot hingga Rp 1.300-an per saham," katanya.

Seperti diketahui, laba bersih BNI tahun lalu turun drastis sebesar 53,24 persen, menjadi Rp 898 miliar. Padahal, pada periode 2006, perusahaan pelat merah itu membukukan laba bersih hingga Rp 1,929 triliun.
Ditemui terpisah, Wadirut BNI Felia Salim menegaskan, penurunan laba tersebut disebabkan adanya kebijakan perseroan untuk meningkatkan rasio pencadangan (provisi). Rasio pencadangan atau PPAP BNI tahun lalu mencapai Rp 2,84 triliun, meningkat dibandingkan periode 2006 yang sebesar Rp 1,31 triliun. Itu berarti meningkat dari 55 persen pada 2006 menjadi 72 persen pada 2007.
Dia menyatakan, perseroan mengambil kebijakan yang lebih konservatif. Terutama dalam kebijakan menetapkan tambahan provisi atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). "Provisi itu untuk mengelola risiko, jadi saya kira tidak masalah," tegas Felia di Jakarta kemarin (8/4).
Menurut dia, saat ini perbankan harus melakukan pengelolaan risiko secara cermat untuk mengantisipasi gejolak pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang terlihat sejak tahun lalu. "Karena itu, rasio provisi terhadap kredit macet harus diperbesar," ujarnya. Felia menambahkan, pihaknya sudah memberikan keterangan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Sebelumnya, Bapepam-LK berencana emanggil direksi BNI terkait polemik penambahan rasio provisi tersebut. Hal itu ditegaskan Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany Senin lalu (7/4). "Bapepam-LK berencana meminta klarifikasi manajemen (BNI)," ujarnya. Rencana tersebut bakal diwujudkan dalam waktu dekat ini.
Fuad menyatakan, pihaknya sedang melakukan kajian terkait masalah tersebut. Kajian yang dilakukan oleh otoritas pasar modal itu, sambung dia, akan difokuskan pada adanya dugaan pelanggaran terkait kebijakan BNI menambah provisi yang mengakibatkan penurunan laba bersih perseroan.
Apalagi, penambahan rasio provisi tersebut tidak dicantumkan pada laporan keuangan perseroan pada triwulan kedua tahun lalu. Padahal, dengan menggunakan laporan keuangan tersebut, Bapepam-LK memberi lampu hijau (efektif) kepada BNI untuk melakukan penawaran umum kedua (secondary public offering) BNI. Namun, kenyataannya, pada akhir tahun justru laba BNI melorot drastis hingga Rp 989 miliar, dari sebelumnya yang mencapai Rp 1,92 triliun yang oleh BNI disebut sebagai akibat penambahan rasio provisi.

Pihak BNI sendiri beralasan, dengan kondisi perekonomian yang sejak setahun lalu menunjukkan tanda-tanda kurang baik, maka antisipasi harus segera dilaksanakan. Hal itulah yang membuat perseroan menyisihkan cadangan secara lebih besar, yaitu 72 persen saja. Perseroan berpendapat, penambahan pencadangan karena masih terdapat sejumlah debitor dengan kredit macet. (eri/fan)

No comments: