Tuesday, April 8, 2008

Memahami Resesi Global Saat Ini

SINDO, Rabu - 09/04/2008
oleh: Muhammad Romli

Saat ini, ekonomi global tengah diselimuti deteriorasi dan resesi. Jika dirunut ke belakang, kondisi ini bermula pada 2003/2004, ketika harga minyak mentah dunia mulai merangkak naik akibat imbalansi supply-demand di pasar internasional.

Boleh jadi,gejolak politik di Timur Tengah akibat agresi militer Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu menjadi salah satu pemicu terganggunya mekanisme pasar minyak. Selanjutnya, lonjakan harga minyak menciptakan tekanan inflasi global dari sisi penawaran (supply side).

Di AS,The Fed merespons tekanan inflasi ini dengan menaikkan suku bunga.Tercatat, dalam periode Juni 2003 hingga Juni 2006, Fed Fund Rate (FFR) secara gradual telah mengalami peningkatan sebesar 425 bps dari 1% menjadi 5,25%. FFR sebesar 5,25% ini dipertahankan hingga Agustus 2007.

Dampaknya, memicu kenaikan suku bunga kredit di AS, termasuk suku bunga kredit properti. Akibatnya, debitor yang secara profil pembayaran memang sudah rendah, kian lemah dan terjadilah kredit macet (credit crunch) pada sektor properti. Selanjutnya,aset perumahan mengalami penurunan nilai (real estate deflations).

Sebagian ekonom memandang resesi yang terjadi saat ini sebagai resesi moderat atau ringan (mild recession). Namun, jika terus berlanjut dalam kurun waktu lebih setahun dan tanpa ada arah kebijakan ekonomi yang jelas, resesi ekonomi global ini berpotensi melahirkan stagflasi, yakni suatu momentum ekonomi di mana pertumbuhan stagnan pada saat tekanan inflasi tinggi. AS,sebagai salah satu negara yang paling merasakan dampak resesi, dilaporkan kini tengah melakukan overhaul atas sistem keuangan mereka.

Kegiatan ”turun mesin” ini merupakan yang terbesar sejak Great Depressionmelanda AS pada era 1930- an. Selain itu, untuk menyelamatkan institusi keuangan dari kebangkrutan, pada Maret lalu The Fed rela mengucurkan dana sebesar USD28,8 miliar pada berbagai institusi keuangan di AS seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. Boleh dibilang,kucuran kredit kepada institusi keuangan nonbank di AS ini merupakan yang pertama kali dilakukan The Fed sejak 70 tahun terakhir.

Resesi Sebelumnya

Hingga kini, dunia sekurang-kurangnya telah mengalami sepuluh kali masa resesi.Namun, jika dilihat dari magnitudonya,paling tidak ada empat resesi hebat, yakni pada era 1930-an, 1970-an, 1990-an, dan saat ini. Dari keempat resesi hebat ini, pada dasarnya dipicu oleh penyebab yang sama, yakni lonjakan harga minyak, persoalan kredit macet, dan deflasi aset properti.

Sebagian ekonom menganggap resesi era 1930-an merupakan yang paling dahsyat dari segi dampak yang ditimbulkan dan durasi waktunya. Salah satu pemicu resesi era 1930- an adalah rontoknya pasar modal AS secara drastis pada 29 Oktober 1929 yang dikenal dengan Black Tuesday.

Milton Friedman, begawan moneter, berpendapat bahwa penyebab resesi adalah ketidakmampuan The Fed dalam menciptakan kestabilan di pasar uang pada saat itu. Selain AS,Jepang juga merupakan salah satu negara yang paling merasakan dampak resesi pada era 1930- an. Sebagian pihak menyebut resesi yang terjadi di Jepang kala itu sebagai modern-day recession.

Pada era 70-an juga pernah terjadi resesi ekonomi global. Secara karakteristik, sebagian pihak menyatakan bahwa resesi kala itu mirip dengan saat ini.Beberapa kemiripan karakteristik itu antara lain: (i) para ekonom tidak bisa memprediksikan kapan harga minyak akan kembali turun dan stabil; (ii) tekanan inflasi lebih bersumber dari supply side, yakni akibat lonjakan harga minyak dan kondisi ini mendorong kenaikan belanja pemerintah; (iii) terjadi deflasi pada berbagai aset properti; (iv) di tengah resesi justru lahir raksasa ekonomi baru.

Pada era 70-an,Jepang menjadi raksasa ekonomi baru dan saat ini raksasanya adalah China; dan (v)ada komunitas babyboomers,yakni kelompok masyarakat yang tidak mempunyai pengaruh dalam penciptaan resesi dua periode ini.Dalam resesi 70-an,mereka masih terlalu kecil untuk berpartisipasi dalam dunia ekonomi dan kini 30 tahun kemudian, mereka sudah terlalu tua untuk memikirkan ekonomi.

Pada periode Juli 1990–Maret 1991,dunia juga pernah dilanda resesi. Namun, resesi saat itu terbilang sangat moderat dan jauh lebih ringan ketimbang sekarang. Pada saat itu, harga minyak dunia memang mengalami lonjakan tinggi dan menyebabkan tekanan inflasi.

Namun, hanya berlangsung selama lima bulan kemudian turun secara drastis. Persoalan subprime mortgage yang terjadi saat itu juga tidak separah kini. Penyebabnya, kala itu debitor melakukan fungsi mitigasi atas risiko dan biaya pada sektor properti kepada counterpartyang memang ahli di bidangnya dan penempatan dana dilakukan di luar sektor perbankan.

Terkait dengan subprime mortgage yang terjadi saat ini, sebagian pihak berpendapat bahwa debitor sektor properti juga sudah melakukan mitigasi risiko.Namun, karena persoalan kredit macet saat ini jauh lebih kompleks, maka dampak yang ditimbulkan pun jauh lebih hebat. Pada resesi 1990-an ini, The Fed melakukan intervensi pasar dengan memangkas suku bunga secara signifikan.

Tercatat,FFR mengalami penurunan sebesar 650 bps selama masa resesi, yakni dari level 9,50% pada awal resesi hingga menjadi 3% di akhir resesi; sementara saat ini FFR sudah berada pada level 2,25%. Penulis melihat ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan pelajaran dari berbagai resesi ekonomi yang telah melanda dunia. Pertama, gejolak resesi biasanya dimulai dari lonjakan harga minyak,kredit macet,dan penurunan nilai aset properti.

Selanjutnya, hal ini akan memicu tekanan inflasi global diindikasikan dengan merangkaknya harga komoditas pangan di pasar internasional. Ini maknanya, inflasi lebih banyak bersumber dari sisi penawaran (supply side),bukan demand side. Dalam kondisi demikian, tekanan inflasi menjadi kurang efektif jika diperangi dari pendekatan moneter, yakni melalui kenaikan suku bunga.

Karenanya, adalah kurang tepat jika tekanan inflasi saat ini diredam hanya dengan menaikkan suku bunga BI Rate. Ini mengingat, inflasi bukan semata-mata bersumber dari persoalan moneter. Kedua,pengalaman resesi pada era 1990-an menunjukkan bahwa kebijakan moneter atau kebijakan fiskal yang berjalan sendirian biasanya tidak efektif meredam gejolak resesi.

Diperlukan koordinasi dan sinkronisasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Bentuknya bisa melalui paket kebijakan ekonomi.Pada waktu terjadi resesi di AS dalam era 1990-an,Pemerintah AS membentuk Resolution Trust Corporation (RTC) yang berfungsi sebagai katalisator dan akselerator.

Ketiga, dalam rangka akselerasi penyelesaian resesi,diperlukan paket kebijakan ekonomi yang berorientasi jangka panjang dan berkesinambungan. Ini mengingat butuh waktu yang relatif lama untuk mengembalikan kondisi ke kondisi normal setelah terjadinya masa resesi.(*)

Muhammad Romli
Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal & Visiting Researcher The Indonesia Economic Intelligence

IMF Jual 403,3 Ton Cadangan Emas

Rabu, 09/04/2008

WASHINGTON(SINDO) – Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan rencana penjualan 403,3 ton emas. Penjualan ini untuk memperbaiki kondisi keuangan lembaga tersebut.

Penjualan sekitar 12% cadangan emas itu diharapkan bisa menghasilkan sekitar USD11 miliar. Ini bertujuan untuk membantu proses reorganisasi institusi keuangan yang tengah mengalami tren penurunan penarikan pinjaman. Padahal, itu merupakan sumber utama keuangan mereka.

Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn mengatakan, IMF akan menggunakan dana yang diperoleh untuk memperbaiki keuangan IMF dan mendiversifikasi investasi.

Pengumuman itu disampaikan bersamaan dengan usaha IMF untuk memotong beban biaya dan memangkas jumlah pekerja. Ini menyusul banyaknya negara yang tengah mengalami kesulitan likuiditas dan menolak pemberian pinjaman IMF akibat syarat pinjaman yang dianggap memberatkan.

IMF mengalami defisit keuangan hingga mencapai USD140 juta untuk tahun anggaran 2008 yang berakhir pada 30 April. Jumlah tersebut merupakan bagian dari total emas yang akan dilego, sekitar 13 juta ons (1.300 ton) dari keseluruhan cadangan emas IMF kini mencapai sekitar 103,4 juta ons (10.340 ton). Penjualan tersebut akan dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun untuk menghindari distorsi pasar. (AFP/rahma regina)

Tantangan Perbankan Syariah

Republika, Senin - 07 April 2008
Oleh :
Makmun
Peneliti Utama Bidang Pengelolaan Risiko Fiskal Depkeu

Sistem ekonomi syariah dewasa ini semakin populer. Tak hanya di negara negara Islam, tetapi juga di negara Barat. Ini ditandai dengan makin banyaknya bank-bank menerapkan konsep syariah.

Melihat perkembangan itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan nilai-nilai Islam dapat diterima di berbagai kalangan karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif.

Nilai-nilai itu, misalnya keadilan dan perlakuan yang sama dalam meraih kesempatan berusaha. Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai diterapkan sejak 1991 yang diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Pada awalnya berdirinya, BMI belum mendapatkan perhatian yang luas. Dalam perjalanannya, khususnya sejak MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, bank berbasis Syariah bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya, seperti asuransi syariah yang memang belum menjamur seperti bank syariah. Dalam tiga tahun terakhir ini industri perbankan syariah mengalami perkembangan yang pesat dan diiringi dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan dan tantangan.

Secara industri pada akhir 2005 terdapat tiga Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 92 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Hingga Desember 2007 jumlah BUS tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah UUS meningkat menjadi 26 dan BPRS menjadi 114.

Sejalan dengan bertambahnya jaringan kantor bank, pada periode 2005-2007 industri ini mengalami peningkatan volume usaha cukup besar, dari Rp 20,9 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 36,5 triliun tahun 2007. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga meningkat dari Rp15,6 triliun pada 2005 menjadi Rp 28,0 triliun pada 2007.

Kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan yang diberikan (PYD) perbankan syariah juga meningkat dari Rp 15,2 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 27,9 triliun pada 2007. Berdasarkan jenis penggunaannya, sebagian besar pembiayaan masih terfokus pada tiga jenis pembiayaan, yakni piutang mudharabah 59,24 persen, pembiayaan mudharabah 19,96 persen, dan pembiayaan musyarakah sebesar 15,77 persen. Pertumbuhan pembiayaan yang masih cukup tinggi dalam kondisi sektor riil yang kurang kondusif akibat meningkatnya tekanan inflasi, berdampak pada meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah (NPL).

Pada akhir 2005 NPL bertahan pada level terkendali, rasio NPF (gross) sebesar 2,8 persen. Namun, pada 2007 meningkat menjadi 4,05 persen. Dari sesi profitabilitas, pada 2005 perbankan syariah mampu mencatatkan tingkat keuntungan Rp 238,6 miliar, meningkat menjadi Rp 540,08 miliar pada 2007. Sejalan dengan peningkatan profitabilitas ini, rasio keuntungan terhadap aset yang dikelola meningkat dari 1,35 persen pada 2005 menjadi 1,78 persen tahun 2007.

Tantangan ke depan
Kondisi perbankan syariah pada tahun mendatang diperkirakan akan terus membaik. Ini terbukti dengan masih tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah.

Dalam rangka peningkatan jangkauan melalui kemudahan untuk membuka kantor pelayanan, diharapkan dapat memberikan pengaruh pada minat masyarakat. Di sisi lain, secara internasional peluang memanfaatkan investasi asing, khususnya dari Timur Tengah ke dalam sistem perekonomian Indonesia masih terbuka lebar.

Industri keuangan syariah secara internasional menunjukkan pertumbuhan sangat tinggi yang memberikan peluang besar bagi sistem keuangan syariah. Harapan dapat menerbitkan sukuk menjadi semakin besar dengan minat pemerintah menerbitkan global sukuk berdenominasi valuta asing.

Hal ini berpotensi meningkatkan variasi instrumen keuangan syariah yang akan sangat berguna bagi likuiditas sistem keuangan syariah. Sejalan dengan perkembangan ekonomi global dan meningkatnya minat masyarakat, perbankan syariah menghadapi tantangan besar.

Dalam usia relatif muda, setidaknya ada tiga tantangan besar ekonomi Islam. Pertama, ujian atas kredibiltas sistem ekonomi dan keuangannya. Kedua, bagaimana ekonomi syariah dapat meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi kemiskinan serta pengangguran. Ketiga, perangkat peraturan, hukum, dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Ahli ekonomi Islam di Indonesia yang terdiri dari akademisi dan praktisi telah membentuk organisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang berdiri dan dideklarasikan pada 3 dan 4 Maret 2004 di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia dalam momentum Konvensi Nasional Ahli Ekonomi Islam Indonesia.

RUU Perbankan Syariah
Dewasa ini pemerintah tengah berusaha mengembangkan perbankan syariah. Pemerintah mengharapkan sistem perbankan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional yang dapat merespons agenda nasional.

Mengingat pentingnya pembangunan ekonomi syariah, pemerintah memberikan dukungan sepenuhnya bagi pengembangan sistem ekonomi syariah dengan melakukan perubahan Undang-Undang No 7/1992 tentang Perbankan menjadi UU No 10/1998. Undang-undang ini mengatur pranata hukum bagi keberadaan bank syariah di Indonesia.

Berdasarkan UU ini pula, bank umum konvensional diperbolehkan berusaha dengan prinsip syariah melalui pembukaan Unit Usaha Syariah. Pada 1999 pemerintah mengeluarkan UU No 23/1999 yang kemudian diamendemen dengan UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada BI untuk menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah.

Dalam mempercepat pertumbuhan perbankan syariah, keberadaan UU Perbankan Syariah mutlak diperlukan. Untuk mewujudkannya, pemerintah dengan DPR tengah menyelesaikan RUU tersebut. Hingga kini pembahasan RUU Perbankan Syariah masih menyisakan beberapa pasal krusial.

Adapun pasal-pasal krusial itu antara lain pasal berkenaan dengan 1) keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), 2) keberadaan Unit Usaha Syariah (UUS), 3) masalah perizinan, 4) lembaga penyelesaian sengketa, 5) kepemilikan asing, 6) kewenangan penyidikan, dan 7) lembaga yang berwewenang menetapkan fatwa.

Pembahasan RUU ini diharapkan segera selesai. Dengan ditetapkannya UU Perbankan Syariah ini, nantinya diharapkan dapat menjadi faktor pemacu pertumbuhan perbankan syariah, baik dalam membuka jaringan bank umum syariah, UUS, maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Pertumbuhan perbankan syariah ini selanjutnya diharapkan dapat membawa multiplier effect dalam perekonomian nasional. Selama ini perbankan syariah telah teruji kemampuannya dalam menciptakan stabilitas ekonomi bangsa secara menyeluruh.

Secara faktual perbankan syariah telah terbukti keunggulannya dalam masa krisis. Pada waktu bank konvensional mengalami guncangan akibat badai krisis pertengahan 1997, perbankan syariah dengan sistem bagi hasil terbukti selamat dari badai tersebut. Untuk itu, dengan keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan akan semakin menumbuhkan perekonomian nasional. Akhirnya, keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan pula dapat membawa dampak pada aliran dana investasi ke Indonesia yang semakin meningkat, terutama dari negara-negara Timur Tengah.

Ikhtisar:
- Praktik bisnis berdasar syariah terbukti mampu menghadapi badai krisis hingga kini.
- Dukungan Undang-Undang Perbankan Syariah akan makin memajukan perbankan syariah dan sektor runtutannya.

Pemerintah akan Lelang Obligasi Negara Rp 3 Triliun

Republika, Selasa - 08 April 2008 15:54:00

Jakarta-RoL -- Pemerintah pada 15 April mendatang akan
melakukan lelang obligasi negara seri VR0032 dan FR0049 dalam mata uang rupiah dengan jumlah indikatif sebesar Rp 3 triliun.

Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto di Jakarta, Selasa (8/4) mengatakan, lelang obligasi itu dilakukan untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan APBN 2008.

Obligasi negara yang akan dilelang adalah seri VR0032 yang mempunyai tingkat bunga mengambang yang didasarkan pada tingkat bunga SBI tiga bulan.

Pembayaran kupon pertama dilakukan pada 25 April 2008 sebesar 7,83333 persen dan jatuh tempo pada 25 April 2011.
Sedangkan seri FR0049 yang mempunyai tingkat bunga tetap sebesar sembilan persen dan jatuh tempo pada 15 September 2013.

Penjualan obligasi negara tersebut akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem pelelangan BI, yang bersifat terbuka dan menggunakan metode harga beragam.

Lelang dibuka 15 April 2008 pukul 10:00 WIB dan ditutup pukul 12:00 WIB. Sementara setelmennya akan dilaksanakan 17 April 2008. antara/is

BNI Rugikan Investor

Jawa Pos, Rabu - 09 Apr 2008

Felia: Saya Kira Tak Ada Masalah
JAKARTA - Penurunan laba bersih PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dalam laporan keuangan 2007 terus menjadi tanda tanya besar bagi pelaku pasar modal. Sebab, terpangkasnya laba bersih tersebut sangat merugikan investor, terutama pemegang saham publik.
"Kan pada kuartal ketiga kita tahu BNI masih untung. Tapi, kenapa masuk kuartal keempat langsung merugi?" ujar pengamat pasar modal Hendra Bujang kepada koran ini kemarin (8/4).

Hendra menyatakan, secara standar akuntansi, peningkatan rasio pencadangan (provisi) bisa dibenarkan. "Itu otoritas manajemen karena juga tidak ada kas yang keluar," tuturnya.
Namun, hal semacam itu tetap menjadi pertanyaan besar bagi pasar. "Kalau pembukuan sih oke dan wajar, tapi itu merugikan investor. Karena itu wajar bila manajemen harus dimintai klarifikasi oleh otoritas," katanya.
Manajemen BNI juga dinilai tidak menjunjung tinggi asas keterbukaan informasi kepada publik. "Kerugian bagi investor minoritas berlanjut. Dulu kan waktu SPO (secondary public offering) mereka beli saham BNI di atas Rp 2 ribu, sekarang melorot hingga Rp 1.300-an per saham," katanya.

Seperti diketahui, laba bersih BNI tahun lalu turun drastis sebesar 53,24 persen, menjadi Rp 898 miliar. Padahal, pada periode 2006, perusahaan pelat merah itu membukukan laba bersih hingga Rp 1,929 triliun.
Ditemui terpisah, Wadirut BNI Felia Salim menegaskan, penurunan laba tersebut disebabkan adanya kebijakan perseroan untuk meningkatkan rasio pencadangan (provisi). Rasio pencadangan atau PPAP BNI tahun lalu mencapai Rp 2,84 triliun, meningkat dibandingkan periode 2006 yang sebesar Rp 1,31 triliun. Itu berarti meningkat dari 55 persen pada 2006 menjadi 72 persen pada 2007.
Dia menyatakan, perseroan mengambil kebijakan yang lebih konservatif. Terutama dalam kebijakan menetapkan tambahan provisi atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). "Provisi itu untuk mengelola risiko, jadi saya kira tidak masalah," tegas Felia di Jakarta kemarin (8/4).
Menurut dia, saat ini perbankan harus melakukan pengelolaan risiko secara cermat untuk mengantisipasi gejolak pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang terlihat sejak tahun lalu. "Karena itu, rasio provisi terhadap kredit macet harus diperbesar," ujarnya. Felia menambahkan, pihaknya sudah memberikan keterangan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Sebelumnya, Bapepam-LK berencana emanggil direksi BNI terkait polemik penambahan rasio provisi tersebut. Hal itu ditegaskan Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany Senin lalu (7/4). "Bapepam-LK berencana meminta klarifikasi manajemen (BNI)," ujarnya. Rencana tersebut bakal diwujudkan dalam waktu dekat ini.
Fuad menyatakan, pihaknya sedang melakukan kajian terkait masalah tersebut. Kajian yang dilakukan oleh otoritas pasar modal itu, sambung dia, akan difokuskan pada adanya dugaan pelanggaran terkait kebijakan BNI menambah provisi yang mengakibatkan penurunan laba bersih perseroan.
Apalagi, penambahan rasio provisi tersebut tidak dicantumkan pada laporan keuangan perseroan pada triwulan kedua tahun lalu. Padahal, dengan menggunakan laporan keuangan tersebut, Bapepam-LK memberi lampu hijau (efektif) kepada BNI untuk melakukan penawaran umum kedua (secondary public offering) BNI. Namun, kenyataannya, pada akhir tahun justru laba BNI melorot drastis hingga Rp 989 miliar, dari sebelumnya yang mencapai Rp 1,92 triliun yang oleh BNI disebut sebagai akibat penambahan rasio provisi.

Pihak BNI sendiri beralasan, dengan kondisi perekonomian yang sejak setahun lalu menunjukkan tanda-tanda kurang baik, maka antisipasi harus segera dilaksanakan. Hal itulah yang membuat perseroan menyisihkan cadangan secara lebih besar, yaitu 72 persen saja. Perseroan berpendapat, penambahan pencadangan karena masih terdapat sejumlah debitor dengan kredit macet. (eri/fan)

Kenaikan Gaji Jaksa dan Korupsi

Jawa Pos, Rabu - 09 Apr 2008
Oleh Ernanto Soedarno *

Kejaksaan Agung meminta pemerintah menaikkan tunjangan atau renumerasi para jaksa karena gaji yang mereka terima selama ini dinilai masih rendah dibanding hakim. Menurut Wakil Jaksa Agung Muchtar
Arifin, gaji yang diterima para pejabat kejaksaan dan jaksa fungsional sangat minim sehingga mereka bisa tergoda dalam menangani perkara (JP 5/4).

Pertanyaannya, apakah kalau gaji sudah dinaikkan sehingga memenuhi kriteria kesejahteraan hidup, dijamin tidak akan ada lagi jaksa yang menerima suap atau korupsi dalam menangani perkara?

Korupsi dan Mental

Banyak kenyataan yang sudah menunjukkan, jumlah gaji yang tinggi tak menjamin seseorang tidak melakukan tindak korupsi atau menerima suap (gratifikasi).
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para oknum pejabat di Bulog, Pertamina, Bank Mandiri, serta Bank Indonesia menunjukkan secara riil, tidak adanya korelasi antara gaji yang tinggi dan perbuatan korupsi.

Perbuatan korupsi atau menerima suap lebih banyak berurusan dengan kualitas mental manusia daripada berkaitan dengan jumlah gaji yang diterima. Menurut hadits Nabi Muhammad SAW, kalau manusia diberi dua bukit emas, maka dia masih berkeinginan untuk memiliki bukit emas ketiga, sampai tanah menutup mulutnya atau mati.

Hadits itu memberikan perspektif religius, betapa sesungguhnya manusia memiliki jiwa serakah, seberapa pun besar harta sudah dimilikinya. Hanya iman dan takwa yang tinggi yang bisa membangunkan jiwa manusia untuk menerima dan mensyukuri pemberian Allah, seberapa pun adanya (qanaah).

Dari perspektif kriminologis, korupsi termasuk dalam kategori kejahatan kelas elite atau white collars crime. Menurut penemu teori itu, Sutherland, kejahatan-kejahatan yang dilakukan para elite tersebut berkaitan dengan profesinya. Karena itu, sifatnya eksklusif, sistematis, berjangka lama, dan sulit dibuktikan. Seperti kejahatan jual beli perkara atau mafia peradilan, hanya kalangan profesi advokat, hakim, jaksa, dan polisi yang bisa melakukannya.

Motivasi dilakukannya kejahatan itu lebih pada soal keserakahan (greed) pelaku daripada dorongan kebutuhan (need) untuk menyambung hidup sehari-hari.
Apabila kejahatan kelas bawah atau jalanan (blue collars crime), seperti perampokan atau penodongan, dilakukan oleh pelaku karena desakan kebutuhan hidup, maka kejahatan elite seperti korupsi lebih untuk memenuhi selera atau gaya hidup tinggi para pelakunya.

Mereka sesungguhnya sudah berpenghasilan lebih dari cukup untuk memenuhi standar kesejahteraannya, namun nafsu keserakahan atas selera hidup yang tinggi (hedonisme) menyebabkan mereka harus mencari penghasilan lebih secara ilegal guna mewujudkannya. Mental hedonistis ini tidak serta merta hilang dengan dinaikkannya gaji seseorang.

Moralistis dan Abolisionistis

Upaya penanggulangan kejahatan (korupsi) di kalangan kejaksaan dengan cara menaikkan gaji mereka hanyalah salah satu cara untuk menghapuskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (abolisionistis). Namun, pendekatan abolisionistis dengan menaikkan gaji saja dipandang tidak akan mencukupi dan sangat konvensional apabila tidak disertai dengan pendekatan moralistis.

Yakni, membangun moralitas di kalangan aparat kejaksaan, juga penegak hukum lainnya, melalui berbagai sarana untuk memperteguh moral dan mental mereka, agar terhindar dari nafsu untuk berbuat korupsi. Misalnya, melalui pendidikan, pengawasan, dan penegakan etika profesi yang ketat dan tegas, sanksi hukum dan administratif yang berat bagi pelaku, yang akan memberikan efek penjeraan (deterent) kepada yang lain, serta pembangunan kultur kerja yang religius.

Dalam kaitan ini, pembentukan organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan yang relevan untuk penanggulangan korupsi di kejaksaan sangatlah direkomendasikan.

Dalam tubuh kejaksaan saat ini sudah ada Komisi Kejaksaan. Sejauh mana efektivitas komisi ini dalam ikut membangun kultur kejaksaan yang antikorupsi, itu sangat tergantung kepada efektivitas program kerja yang mereka lakukan serta daya terima lembaga kejaksaan atas hasil kerja Komisi Kejaksaan.

Praktik sinergi yang tidak harmonis antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, yang sering bersitegang dan kontradiktif dalam merespons kebijakan antarlembaga mereka, tidaklah perlu dicontoh oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan.

Sayang, selama ini kita belum mendengar kiprah Komisi Kejaksaan yang berarti dalam melakukan pengawasan kinerja kejaksaan. Terungkapnya kasus dugaan penerimaan suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan, yang juga memakan korban penggantian jabatan Jampidsus dan direktur penyidikannya, belum membuat Komisi Kejaksaan berkiprah secara signifikan untuk ikut membenahi kinerja kejaksaan. Informasi tentang apa program-program kerja mereka mendatang pun, publik kurang tahu.

Berkaitan dengan semua paparan di atas, usul kenaikan gaji para jaksa sebagai bagian dari reformasi birokrasi memang perlu mendapatkan respons positif dari pemerintah. Namun, berharap bahwa kenaikan gaji itu akan memberantas praktik korupsi di tubuh kejaksaan akan sangat simplisitis atau menyederhanakan persoalan. Tentu saja, apabila tidak diikuti langkah-langkah moralistis dan abolisionistis lainnya secara simultan.

* Ernanto Soedarno, advokat dan ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Kebijakan FTZ: Momentum Investasi Dikhawatirkan Hilang

Rabu, 9 April 2008 | 01:28 WIB

Jakarta, Kompas - Kelambanan pemerintah dalam menentukan dewan kawasan untuk Batam, Bintan, dan Karimun sebagai zona perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) dikhawatirkan akan membuat Indonesia kehilangan momentum menarik investasi.

Kekhawatiran itu mengemuka dalam seminar bertajuk ”Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Tuntutan Persaingan Global”, Selasa (8/4) di Jakarta.

Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal Luky Eko Wuryanto mengatakan, pemerintah terlampau lamban dalam menyikapi kedatangan investor. Investor dibiarkan terlalu lama menunggu dan mencermati untuk menanamkan modalnya.

Penetapan zona perdagangan bebas sudah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 28 Juni 2006. Batam, Bintan, dan Karimun ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus dengan status FTZ.

Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah mengatakan, pembentukan dewan kawasan sesungguhnya sudah diusulkan sejak 13 Desember 2007. Hampir empat bulan lamanya pemerintah tidak segera mengambil keputusan terhadap pembentukan dewan kawasan ini. Padahal, adanya dewan kawasan ini membuat daya tarik bagi investor akan tingkat keamanan berinvestasi di Indonesia.

Ismeth menambahkan, dewan kawasan akan membawahi Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) Batam, Bintan, dan Karimun. Seluruhnya akan memiliki kantor pelayanan satu atap di setiap daerahnya.

Ismeth menjelaskan, sejak ditetapkan sebagai FTZ, salah satu persoalan yang dihadapi investor adalah kepastian hukum. Penetapan jangka waktu berlakunya hak guna usaha (HGU) yang tadinya ditetapkan oleh Undang-Undang Penanaman Modal selama 70 tahun kini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

HGU tidak boleh diberikan sekaligus selama 70 tahun, melainkan diberikan secara periodik, yakni 35 tahun. Hal ini dinilai membuat investasi tidak kompetitif. Sementara, Malaysia bisa memberikan izin HGU 90 tahun dan China selama 100 tahun.

Presiden Direktur PT Jababeka Tbk SD Darmono mengatakan, persoalan HGU sebetulnya bisa diselesaikan tanpa harus bersikap kaku. HGU selama 20 tahun sebetulnya tidak membuat investor kabur. Prinsipnya, HGU itu bisa diperpanjang kembali. (OSA)